AL-QUR’AN
DALAM ILMU QIRA’AT
MAKALAH
“Ummul
Qur’an”
Dosen
Pembimbing :
Abdul
Rosyid M.Si
Disusun
oleh :
Ikka
Wulandari
Lena
Setiastri
Riska
Tazkiatul Jannah
Septiani
Suhendah
Sekolah
Tinggi Agama Islam Al-Hidayah
Bogor
2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas kelompok mata
kuliah UMMUL QUR’AN yang berjudul “ ILMU QIRA’AT “ .
Dalam
penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah UMMUL QUR’AN.
Sebagai
bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada
umumnya .
Bogor, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR……………....………………………………………………...i
DAFTAR
ISI……………....………………………………..………………………...ii
BAB
I : PENDAHULUAN……………....…………………………………………...1
BAB
II : PEMBAHASAN…………………………………………………………….3
A. PENGERTIAN
QIRA’AT………………………………………………….....3
B. SYARAT-SYARAT
QIRA’AT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA…..4
C. PENGARUH
QIRA’AT TERHADAP ISTINBATH ………………………..7
D. FAEDAH
KEBERAGAMAN DALAM QIRA’AT YANG SHAHIH……….8
BAB
III : PENUTUP………………………………………………………………...11
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………..12
BAB
I
PENDAHULUAN
Al-qur’an
adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin
tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan manusia
dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan membimbing mereka ke
jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai
penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat
sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima,
mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.[1]
Metode
penyampaian ilmu pengetahuan pada waktu itu, termasuk ilmu-ilmu Al-Qur’an, di zaman awal-awal Islam bahkan
hingga masa-masa tabi’ al-tabi’in yang berlangsung sejak abad pertama hingga
abad kedua atau abad ketiga hijrah, lebih banyak mengandalkan metode sima’iy (pendengaran) dan musyafahah (penyampaian dari mulut ke
mulut).[2]
Meluasnya
wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan
Al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at.
Perbedaan antara satu qira’at dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian
riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para sahabat tidak
semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Qur’an. Sebagian mengambil satu cara
bacaannya dari Rasulullah SAW, dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing.
Para sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan
mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi popular di
kota atau daerah tempat mereka mengerjakannya. Sehingga terjadilah perbedaan
cara baca Al-Qur’an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para tabi’in
menerima cara baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’in At-Tabi’in
menerimanya dari tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi berikutnya.
Dengan demikian tumbuhlah berbagai qira’at yang kesemuanya berdasarkan riwayat.
Hanya saja, sebagian menjadi popular dan yang lain tidak riwayatnya juga
sebagian mutawatir dan yang lainnya tidak.[3]
Dalam
mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad SAW memilihkan
bacaan yang sesuai dengan logat sahabat. Tidak sedikit sahabat yang memahami macam-macam
bacaan dari Nabi Muhammad SAW. Karenanya, sahabat yang satu dengan yang lainnya
berbeda dalam membaca Al-Qur’an. Meski demikian, para sahabat mempelajari macam-macam
bacaan dan memahami adanya perbedaan tersebut. Selain mereka mengetahui secara
langsung dari Nabi Muhammad SAW, bacaan yang berbeda itu juga tidak mengubah
arti dan maksud Al-Qur’an, sehingga mereka tidak memperdebatkannya. Namun,
persoalan aneka bacaan ini muncul ketika perbedaan bacaan semakin meluas dan
menimbulkan perselisihan yang tajam. Untuk itu, ide penyatuan maca-macam bacaan
pada masa Khalifah Usman RA menjadi kebijakan yang tepat.[4]
Tidak
sedikit ulama yang masih mempertahankan dan mengajarkan macam-macam bacaan
Al-Qur’an. Mereka menamakannya dengan Ilmu Qira’ah, yakni ilmu tentang cara mengucapkan kalimat-kalimat
Al-Qur’an dan perbedaannya serta menyatakan kejelasan sumbernya sambung
menyambung sampai kepada Nabi SAW.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
QIRA’AT
Qiraat
adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Ia
adalah mashdar dan qara’a.
Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah
salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam
qurra[5]
sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6] Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang
membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu
ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata
(kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai
dengan jalan orang yang menukilkannya[7].
Menurut Al-Zarqani mengemukakan defenisi qira’at sebagai berikut:
“Suatu
mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya
dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan
jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun
dalam pengucapan keadaan-keadaanya”.
Definisi
ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksud menyangkut bacaan
ayat-ayat. Kedua, cara cara bacaan yang dianut dalam suatu mahzab qira’at
didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan
antara qira’at-qira’at bisa terjadi dalam pengucapannya dalam berbagai keadaan.
Disamping
itu, Ibn al-Jazari membuat definisi berikut:
“Qira’at adalah pengetahuan tentang
cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan
membangsakannya kepada penukilnya”.
Menurut
Ibn al-Jazari, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qira’at-qira’at dan
meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Dalam masalah qira’at banyak
hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian
secara lisan. Al-Qari’ Al-Mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang mulai
melakukan personifikasi qira’at hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga
qira’at. Al-Muntahi (qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer
kebanyakan qira’at atau qira’at-qira’at yang paling masyhur. Al-Qur’an yang
tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masala qira’at.[8]
B. SYARAT-SYARAT
QIRA’AT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA
Untuk
menangkal penyelewangan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat
persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan
antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar.
Pertama, qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan.
Kedua, qiraat itu sesuai dengan salah satu muhsaf-muhsaf Utsmani sekalipun
secara potensial. Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam
qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at yang
diterima selain mereka. Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah
qira’at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya
qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebagai qiraat yang
lemah atau aneh atau batal, baik qira’at terbebut diriwayatkan dari imam
qira’at yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka.[9]
Sebagian
ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syadz.
Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad
ialah qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat.
Selain itu termasuk qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at
itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan
dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yang shahih, baik dalam
qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.[10]
Menurut
para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:[11]
1. Kesesuaian
qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik
fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti,
diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan
rasio.
2. Qira’at
sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja.
Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah
bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek
qira’at yang mereka ketahui.
Dalam
menentukan qira’at yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan semua
mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
3. Qira’at
itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan
pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari
dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at
bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah
beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah
terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu
syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang
lemah, syadz atau batil.
As-syuyuti
mengutib Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada
enam macam.[12]
1. Mutawatir,
yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari
sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat
berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur ulama,
qira’at yang ketujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathoni, para ulama
Al-Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus
mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an. Qira’at ini
sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qur’an ini dijadikan sumber atau hujjah
dalam menetapkan hokum.
2. Masyhur,
yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak
sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih,
kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya
serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3. Ahad,
yaitu qira’at yang sanadnya shahih.
Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa
Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak
sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil
Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4. Syaz,
yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya.
5. Maudu’,
yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at
yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan
kepada Abu Hanifah
6. Mudraj,
yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
Keempat
macam contoh qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Menurut
jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir,
seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat. [13]
Imam
Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Muhazzab bahwa
tidak sah membaca qira’at syazzah
(aneh) di dalam dan di luar shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat tidak
demikian maka orang itu salah dan jahil. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk
menyuruh orang yang membaca riwayat yang syazz
bertaubat.[14]
C. PENGARUH
QIRA’AT TERHADAP ISTINBATH
Perbedaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan
ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang
selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistibathkannya.[15]
Dalam hal ini, qira’at
dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail dan cermat, perbedaan
qira’at Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafadz atau kalimat,
adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun adakalanya tidak.
Dengan demikian, maka perbedaan Qira’at Al-Quran adakalanya berpengaruh
terhadap istinbat hukum, dan adakalanya tidak. Qira’at shahih (mutawatir dan
masyhur) biasa dijadikan sebagai tafsir dan penjelasan serta dasar penetapan
hukum.
D. FAEDAH
KEBERAGAMAN DALAM QIRA’AT YANG SHAHIH
Keberagaman
qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:[16]
1. Menunjukkan
betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang
berbeda-beda.
2. Meringankan
umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3. Bukti
kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum syariat
tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
4. Penjelasan
terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Para
ulama menulis qiraa’at-qira’at dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga
lahirlah istilah “qira’at tujuh”, “qira’at sepuluh”, dan “qira’at empat belas”.[17]
Penyebutan
secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid tentang ketujuh imam qira’at yang
masyhur itu, karena menurutnya, mereka adalah ulama yang terkenal kuat hafalan,
ketelitian, amanah dan cukup lama menekuni dunia qira’at serta telah disepakati
untuk diambil dan dikembangkan qira’atnya.[18]
Mereka itu adalah:
1. Abu
Amru bin Al-Ala’. Seorang syaikh para perawi. Nama lengkapnya Zabban Al-Mazini
Al-Bashri. Ada yang mengatakan, namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama
aslinya adalah gelarannya itu. Ia wafat di Kufah pada 154 H. dua orang
perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi.
2. Ibnu
Katsir. Nama lengkapnya Abdullah bin Katsir Al-Makki. Ia termasuk seorang
tabi’in dan wafat di Makkah pada 120 H.
3. Nafi’
Al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdirrahman bin Nuaim
Al-Laitsi, berasal dari Isfaham, dan wafat di Madinah pada 169 H.
4. Ibnu
Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Al-Yahsubi, seorang
qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdil Malik. Nama
panggilannya adalah Abu Imran, ia termasuk orang tabi’in. wafat di Damaskus
pada 118 H.
5. Ashim
Al-Kufi. Ia adalah Ashim bin Abi An-Najud, dinamakan juga Ibnu Bahdalah, Abu
Bakar. Dari kalangan tabi’in. wafat di Kufah pada 128 H.
6. Hamzah
Al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi At-Taimi. Ia digelari
Abu Imarah, dan wafat di Hilwan pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur
tahun 156 H.
7. Al-Kisa’i
A-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Ia digelari
Abul Hasan. Dinamakan dengan Al-Kisa’i karena ia karena memakai kisa’ (potongan kain penutup
Ka’bah/kiswah) di saat ihram. Ia wafat di Ranbawaih, sebuah perkampungan di
Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama Harun Ar-Rasyid pada 189 H.
8. Abu
Ja’far Al-Madani. Ia bernama Yazid bin Al-Qa’qa’. Wafat di Madinah pada 128 H,
tapi ada yang mengatakan 132 H. dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu
Jammaz.
9. Ya’qub
Al-Bashri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadhrami. Wafat
di Bashrah pada 205 H. Ada yang mengatakan pada 185 H.
10. Khalaf.
Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzar Al-Baghdadi.
Wafat pada 229 H. Ada yang mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak diketahui.
Sebagian
ulama menambahkan juga empat qira’at kepada qira’at yang sepuluh diatas.
Keempat qira’at berikut qari’nya tersebut adalah:[19]
1. Qira’at
Al-Hasan Al-Bashri, seorang maula kaum Anshar dan salah seorang tabi’in besar
yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H.
2. Qira’at
Muhammad bin Abdirrahman yang terkenal dengan Ibnu Muhaisin. Wafat pada 123 H.
dia adalah syaikhnya Abu Amru.
3. Qira’at
Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi dari Baghdad. Ia belajar qira’at dari
Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad-Duri dan As-Susi, wafat pada 202 H.
4. Qira’at
Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa:
Qiraat adalah perbedaan
cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara
pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah,
qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah. Qiraat memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara
baca.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Aziz M. Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Qur’an. Surabaya:
IMTIYAZ Surabaya
Suma, H. Muhammad Amin. 2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus
Syadali M.A, Drs.H. Ahmad, Rof’I, Drs. H. Ahmad.
2000. UMMUL QUR’AN I. Bandung: CV
Pustaka Setia
Yusuf, Kadar M.
2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah
[1] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 3
[2] H.
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), 2000, Jakarta,
halaman 13
[3] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227
[4] Moh.
Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Qur’an, 2012, SURABAYA, halaman 165-166
[5]
Qurra’ adalah jama’ dari qari’, yang artinya orang yang membaca. Qari’ atau
qurra’ ini sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’am,
maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai madzhab
tertentu dalam suatu qira’ah yang mutawatir. Qurra’ bisa juga diartikan secara
mudah sebagai para imam qira’at (Edt.)
[6] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 211
[7] Kadar m. Yusuf, STUDI AL-QURAN, 2010,
Jakarta, halaman 46
[8] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 225
[9] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227-228
[10] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 216-217
[11] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 217-218
[12] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 228-230
[13] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-qur’an, 2013, Jakarta, halaman 221
[14] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 231
[15] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 232
[16] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 221-222
[17] Ahmad
Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227
[18] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 223-225
[19] Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 226
Sangat membantu ..
BalasHapusizin copy
BalasHapus