even if you come to a standstill, here is not the end, at the end of hesitation face forward, i want to challenge myself

Senin, 17 Maret 2014

Makalah Ummul Qur'an "AL-QUR’AN DALAM ILMU QIRA’AT"



AL-QUR’AN DALAM ILMU QIRA’AT

MAKALAH
“Ummul Qur’an”



Dosen Pembimbing :
Abdul Rosyid M.Si


Disusun oleh :
Ikka Wulandari
Lena Setiastri
Riska Tazkiatul Jannah
Septiani Suhendah

Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hidayah
Bogor 2013






KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya kami dapat  menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah UMMUL QUR’AN yang berjudul “ ILMU QIRA’AT “ .
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah UMMUL QUR’AN.
            Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .


Bogor, Oktober 2013


                    Penulis










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………....………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………....………………………………..………………………...ii
BAB I : PENDAHULUAN……………....…………………………………………...1
BAB II : PEMBAHASAN…………………………………………………………….3
A.    PENGERTIAN QIRA’AT………………………………………………….....3
B.     SYARAT-SYARAT QIRA’AT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA…..4
C.     PENGARUH QIRA’AT TERHADAP ISTINBATH ………………………..7
D.    FAEDAH KEBERAGAMAN DALAM QIRA’AT YANG SHAHIH……….8
BAB III : PENUTUP………………………………………………………………...11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..12




 
BAB I
PENDAHULUAN

Al-qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.[1]
Metode penyampaian ilmu pengetahuan pada waktu itu, termasuk ilmu-ilmu Al-Quran, di zaman awal-awal Islam bahkan hingga masa-masa tabi’ al-tabi’in yang berlangsung sejak abad pertama hingga abad kedua atau abad ketiga hijrah, lebih banyak mengandalkan metode sima’iy (pendengaran) dan musyafahah (penyampaian dari mulut ke mulut).[2]
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at. Perbedaan antara satu qira’at dan lainnya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan. Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Qur’an. Sebagian mengambil satu cara bacaannya dari Rasulullah SAW, dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadi popular di kota atau daerah tempat mereka mengerjakannya. Sehingga terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur’an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para tabi’in menerima cara baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’in At-Tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah berbagai qira’at yang kesemuanya berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian menjadi popular dan yang lain tidak riwayatnya juga sebagian mutawatir dan yang lainnya tidak.[3]
Dalam mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada para sahabat, Nabi Muhammad SAW memilihkan bacaan yang sesuai dengan logat sahabat. Tidak sedikit sahabat yang memahami macam-macam bacaan dari Nabi Muhammad SAW. Karenanya, sahabat yang satu dengan yang lainnya berbeda dalam membaca Al-Qur’an. Meski demikian, para sahabat mempelajari macam-macam bacaan dan memahami adanya perbedaan tersebut. Selain mereka mengetahui secara langsung dari Nabi Muhammad SAW, bacaan yang berbeda itu juga tidak mengubah arti dan maksud Al-Qur’an, sehingga mereka tidak memperdebatkannya. Namun, persoalan aneka bacaan ini muncul ketika perbedaan bacaan semakin meluas dan menimbulkan perselisihan yang tajam. Untuk itu, ide penyatuan maca-macam bacaan pada masa Khalifah Usman RA menjadi kebijakan yang tepat.[4]
Tidak sedikit ulama yang masih mempertahankan dan mengajarkan macam-macam bacaan Al-Qur’an. Mereka menamakannya dengan Ilmu Qira’ah, yakni  ilmu tentang cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya serta menyatakan kejelasan sumbernya sambung menyambung sampai kepada Nabi SAW.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN QIRA’AT
Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Ia adalah mashdar  dan qara’a. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra[5] sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.[6] Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya[7]. Menurut Al-Zarqani mengemukakan defenisi qira’at sebagai berikut:
“Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaanya”.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua, cara cara bacaan yang dianut dalam suatu mahzab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qira’at-qira’at bisa terjadi dalam pengucapannya dalam berbagai keadaan.
Disamping itu, Ibn al-Jazari membuat definisi berikut:
“Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”.
Menurut Ibn al-Jazari, Al-Muqri’ adalah seorang yang mengetahui qira’at-qira’at dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Dalam masalah qira’at banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecuali melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan. Al-Qari’ Al-Mubtadi’ (qari’ pemula) adalah orang yang mulai melakukan personifikasi qira’at hingga ia dapat mempersonifikasikan tiga qira’at. Al-Muntahi (qari tingkat akhir) ialah orang yang mentransfer kebanyakan qira’at atau qira’at-qira’at yang paling masyhur. Al-Qur’an yang tercetak belum dapat dijadikan pegangan dalam masala qira’at.[8]

B.     SYARAT-SYARAT QIRA’AT YANG MUKTABAR DAN JENISNYA
Untuk menangkal penyelewangan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar. Pertama, qiraat itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qiraat itu sesuai dengan salah satu muhsaf-muhsaf Utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka. Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah qira’at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebagai qiraat yang lemah atau aneh atau batal, baik qira’at terbebut diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka.[9]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawatir adalah qira’at yang tujuh. Qira’at ahad ialah qira’at pelengkap menjadi sepuluh qira’at, ditambah qira’at para sahabat. Selain itu termasuk qira’at syadz. Ada yang berpendapat, bahwa kesepuluh qira’at itu mutawatir semua. Ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini adalah kaidah-kaidah tentang qira’at yang shahih, baik dalam qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya.[10]
Menurut para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:[11]
1.      Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab, qira’at adalah Sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan rasio.
2.      Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab, dalam penulisannya mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
Dalam menentukan qira’at yang shahih, ia tidak diisyaratkan harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
3.      Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan Sunnah yag diikuti yang didasarkan pada penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Itulah beberapa patokan qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat diatas telah terpenuhi, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shaih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau batil.
As-syuyuti mengutib Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam.[12]
1.      Mutawatir, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap tingkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur ulama, qira’at yang ketujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathoni, para ulama Al-Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai Al-Qur’an. Qira’at ini sah dibaca di dalam dan diluar shalat. Qur’an ini dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapkan hokum.
2.      Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi, jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Menurut Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikit pun daripadanya.
3.      Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih. Akan tetapi qira’at ini menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran tersebut diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai riwayat yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dari jalur Ashil Al-Jahdari dari Abi Bakrah bahwa Nabi SAW.
4.      Syaz, yaitu qira’at yang sanadnya tidak sahih, seperti qira’at. Terjadinya kejanggalan pada qira’at nya.
5.      Maudu’, yaitu qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qira’at yang dihimpun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’i (wafat 408 H) dan dibangsakan kepada Abu Hanifah
6.      Mudraj, yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Qur’an seperti qira’at Sa’d bin Abi Waqqas.
Keempat macam contoh qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Menurut jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat. [13]
Imam Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Muhazzab  bahwa tidak sah membaca qira’at syazzah (aneh) di dalam dan di luar shalat. Sebab, qira’at syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat tidak demikian maka orang itu salah dan jahil. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk menyuruh orang yang membaca riwayat yang syazz  bertaubat.[14]

C.     PENGARUH QIRA’AT TERHADAP ISTINBATH
Perbedaan antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, I’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistibathkannya.[15]
Dalam hal ini, qira’at dapat membantu menetapkan hukum secara lebih detail dan cermat, perbedaan qira’at Al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafadz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafadz tersebut namun adakalanya tidak. Dengan demikian, maka  perbedaan Qira’at Al-Quran adakalanya berpengaruh terhadap istinbat hukum, dan adakalanya tidak. Qira’at shahih (mutawatir dan masyhur) biasa dijadikan sebagai tafsir dan penjelasan serta dasar penetapan hukum.


D.    FAEDAH KEBERAGAMAN DALAM QIRA’AT YANG SHAHIH
Keberagaman qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, diantaranya:[16]
1.      Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2.      Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
3.      Bukti kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hokum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan lafazh.
4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Para ulama menulis qiraa’at-qira’at dan sebagiannya menjadi masyhur sehingga lahirlah istilah “qira’at tujuh”, “qira’at sepuluh”, dan “qira’at empat belas”.[17]
Penyebutan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid tentang ketujuh imam qira’at yang masyhur itu, karena menurutnya, mereka adalah ulama yang terkenal kuat hafalan, ketelitian, amanah dan cukup lama menekuni dunia qira’at serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qira’atnya.[18] Mereka itu adalah:
1.      Abu Amru bin Al-Ala’. Seorang syaikh para perawi. Nama lengkapnya Zabban Al-Mazini Al-Bashri. Ada yang mengatakan, namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah gelarannya itu. Ia wafat di Kufah pada 154 H. dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi.
2.      Ibnu Katsir. Nama lengkapnya Abdullah bin Katsir Al-Makki. Ia termasuk seorang tabi’in dan wafat di Makkah pada 120 H.
3.      Nafi’ Al-Madani. Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi’ bin Abdirrahman bin Nuaim Al-Laitsi, berasal dari Isfaham, dan wafat di Madinah pada 169 H.
4.      Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Al-Yahsubi, seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdil Malik. Nama panggilannya adalah Abu Imran, ia termasuk orang tabi’in. wafat di Damaskus pada 118 H.
5.      Ashim Al-Kufi. Ia adalah Ashim bin Abi An-Najud, dinamakan juga Ibnu Bahdalah, Abu Bakar. Dari kalangan tabi’in. wafat di Kufah pada 128 H.
6.      Hamzah Al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi At-Taimi. Ia digelari Abu Imarah, dan wafat di Hilwan pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur tahun 156 H.
7.      Al-Kisa’i A-Kufi. Ia adalah Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Ia digelari Abul Hasan. Dinamakan dengan Al-Kisa’i karena ia karena memakai kisa’ (potongan kain penutup Ka’bah/kiswah) di saat ihram. Ia wafat di Ranbawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama Harun Ar-Rasyid pada 189 H.
8.      Abu Ja’far Al-Madani. Ia bernama Yazid bin Al-Qa’qa’. Wafat di Madinah pada 128 H, tapi ada yang mengatakan 132 H. dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.
9.      Ya’qub Al-Bashri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadhrami. Wafat di Bashrah pada 205 H. Ada yang mengatakan pada 185 H.
10.  Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzar Al-Baghdadi. Wafat pada 229 H. Ada yang mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak diketahui.
Sebagian ulama menambahkan juga empat qira’at kepada qira’at yang sepuluh diatas. Keempat qira’at berikut qari’nya tersebut adalah:[19]
1.      Qira’at Al-Hasan Al-Bashri, seorang maula  kaum Anshar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Wafat pada 110 H.
2.      Qira’at Muhammad bin Abdirrahman yang terkenal dengan Ibnu Muhaisin. Wafat pada 123 H. dia adalah syaikhnya Abu Amru.
3.      Qira’at Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi dari Baghdad. Ia belajar qira’at dari Abu Amru dan Hamzah. Dia juga syaikhnya Ad-Duri dan As-Susi, wafat pada 202 H.
4.      Qira’at Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy-Syambudzi. Wafat pada 388 H.















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah. Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca.













DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna’. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Aziz M. Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas AL-Qur’an. Surabaya: IMTIYAZ Surabaya
Suma, H. Muhammad Amin. 2000. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1). Jakarta: Pustaka Firdaus
Syadali M.A, Drs.H. Ahmad, Rof’I, Drs. H. Ahmad. 2000. UMMUL QUR’AN I. Bandung: CV Pustaka Setia
Yusuf, Kadar M. 2010. Studi Alquran. Jakarta: Amzah


[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 3
[2] H. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), 2000, Jakarta, halaman 13
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227
[4] Moh. Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Qur’an, 2012, SURABAYA, halaman 165-166
[5] Qurra’ adalah jama’ dari qari’, yang artinya orang yang membaca. Qari’ atau qurra’ ini sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’am, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai madzhab tertentu dalam suatu qira’ah yang mutawatir. Qurra’ bisa juga diartikan secara mudah sebagai para imam qira’at (Edt.)
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 211
[7] Kadar m. Yusuf, STUDI AL-QURAN, 2010, Jakarta, halaman 46
[8] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 225
[9] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227-228
[10] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 216-217
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 217-218

[12] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 228-230
[13] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-qur’an, 2013, Jakarta, halaman 221
[14] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 231
[15] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 232
[16] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 221-222
[17] Ahmad Syadali dan Ahmad Rof’I, Ummul Qur’an I, 2000, Bandung, halaman 227
[18] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 223-225
[19] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, 2013, Jakarta, halaman 226

2 komentar: